Boma Nerakasura dengan arca Dwarapala bersenjatakan gada dan terdapat
arca Hanoman di kiri gapura, ketiganya berfungsi sebagai simbol penjaga
/ penghalau dari segala hal bersifat negatif yang hendak memasuki
kawasan situs Umbul Jumprit. Bangunan yang telah berumur ratusan tahun
itu memiliki Langgam arsitektur mirip dengan bangunan peninggalan
Majapahit di Mojokerto ( Jawa Timur ).
Setelah berjalan sekitar 100 meter ke dalam lokasi, terdapat simpang
tiga dengan arca Dwarapala diantaranya, simpang yang kiri mengarah ke
Umbul Jumprit sedangkan ke kanan menuruni tangga menuju ke makam Makam
Panembahan Ciptaning Ki dan Nyi Nujum Majapahit. Nama Jumprit disebutkan
dalam serat Centini, karya sastra para pujangga Jawa tahun 1815,
“…Menurut cerita, beliau adalah : Seorang ahli nujum dari kerajaan
Majapahit. Ada pula yang mengatakan, bahwa beliau adalah salah seorang
putra Prabu Brawijaya raja Majapahit…” Menurut Muhtasori, penjaga situs
Umbul Jumprit. Cerita tentang Ki Jumprit diawali pada masa peralihan
Islam, saat Demak berperang dengan Majapahit, Pangeran Singonegoro,
penasehat Prabu Kertabumi Brawijaya V ( Raja Majapahit terakhir )
bertapa di sendang ini dengan ditemani dua pengikut setianya dan seekor
Kera Putih kesayangannya, yang di beri nama Ki Dipo. Pangeran
Singonegoro yang kemudian bergelar Panembahan Ciptaning setelah
bermeditasi sekian lama di sendang akhirnya meninggal. Namun ternyata
sepeninggal tuannya, si Kera Putih itu tetap setia menunggui makam
tuannya. Sedangkan kedua pengikut setianya mulai melakukan perjalanan ke
arah barat, sebelum pada akhirnya mereka pun kembali lagi ke sendang
ini lalu menetap sampai akhir hayatnya.
” …Yang pasti ada beberapa lokasi yang diyakini sebagai petilasan Ki
Jumprit termasuk makam ini. Mata air dan Sendang Jumprit terletak di
bawah gua, dimana mulut gua tersebut dirindangi sulur-sulur pepohonan di
atasnya, air menetes dari sulur-sulur tersebut masuk ke dalam sendang.
Di dalam gua terdapat tempat bersembahyang / meditasi dan kembali
terlihat arca Hanoman dengan ukuran lebih kecil, berlumut, dan tampak
sangat kuno. Kemudian diketahui bahwa itu bukanlah arca Hanoman
melainkan Ki Dipo. Terkadang para Bhiksu ataupun orang biasa yang
bersemedi di dalam gua sendang itu, mengaku melihat sekelebatan kera
putih yang bernama Ki Dipo tersebut , meskipun tak ada yang pernah
mengaku melihatnya dengan sangat nyata. Kawanan kera yang kerap berada
di sekitar wanawisata Umbul Jumprit pun diyakini merupakan keturunan Ki
Dipo ( si Kera Putih ) hasil perkawinannya dengan seekor kera betina
yang datang dari pegunungan Pleret. Hingga kini jumlah kera – kera itu
telah mencapai sekitar 20-30 ekor. Sendang
Jumprit dipergunakan untuk keperluan tirakat / laku perihatin
pengekangan diri bagi pengunjung dengan cara berendam di dalamnya. Air
Suci tersebut dipercaya Kaya akan Berkah dan Keberuntungan. Terdapat
arca Batara Semar / Ismaya dan arca Bima yang sedang bertarung dengan
Dewaruci di sekitar Sendang Jumprit. Sejak tahun 1987, Menjelang 3 hari
sebelum perayaan waisak pada tiap tahunnya, para Bhiksu dari 9 aliran
agama Budha bersama-sama ke Umbul Jumprit untuk berdoa dan mengambil air
berkah dari mata air ini sebagai pembuka prosesi perayaan Waisak.
Sebanyak 10.000 kendi air berkat di pendak / di ambil dari umbul Jumprit
dan digunakan sebagai Tirta Suci untuk memerciki Umat Budha saat
upacara puncak perayaan Tri Suci Waisak di Candi Borobudur.
Salah satu alasannya adalah karena air di Sendang Jumprit setelah
diteliti oleh para Bhiksu, adalah air sendang yang paling murni dengan
Kadar Spiritual paling bagus dari sendang-sendang lain yang ada di
seluruh Indonesia. Kemurnian airnya menyebabkan Sendang Jumprit dipilih
para Bhiksu Budha sebagai tempat untuk bermeditasi, tidak hanya dari
Indonesia, melainkan juga dari Thailand maupun Srilanka. Dan memang
menurut ahli dari Jerman yang pernah meneliti air sendang ini, ternyata
air Jumprit paling sedikit mengandung unsur bakteri patogen. Awal
keramaian obyek wisata ini terjadi sejak awal 1980-an, ketika banyak
peziarah yang melakukan wisata spiritual di Makam Ki Jumprit di dekat
Umbul Jumprit yang letaknya bersebelahan. Mereka bersemedi / meditasi di
sekitar makam, kemudian diakhiri mandi Kumkum / Berendam di mata air
yang tak pernah kering tersebut. Puncak
keramaian perziarah biasanya terjadi pada dua hari keramat / suci
menurut kepercayaan adat Jawa yaitu :…Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon ”.
Apalagi jika waktu sudah meninggalkan pukul 24.00. Seusai kumkum, mereka
membuang pakaian sebagai symbol membuang kekotoran atau segala unsur
negatif dan sakit penyakit yang ada pada diri. Sehingga di harapkan
Keberkahan Hidup yang Baru pun kan datang menjelang. Pada malam Tahun
Baru Jawa 1 Suro di tempat ini pun juga sangat ramai. Dengan didukung
oleh atraksi wisata di Sendang Sidukun, yaitu tradisi Suran Traji dengan
aneka ritual menebar Pusaka Pengantin Lurah Traji. Upacara ini sudah
dilakukan sejak ratusan tahun lalu, yaitu berupa Kirab Lurah.
Untuk mencapai Wanawisata Umbul Jumprit dapat di tempuh dengan 3
jalur, dari arah Magelang, Semarang dan Jogjakarta melalui Kota
Ngadirejo akan tiba di tugu Ngadirejo, ambil arah ke kiri kira-kira
sejauh 8 km akan ada petunjuk yang mengarahkan ke wana wisata Jumprit.
Jika perjalanan dilakukan dari arah Kendal, Weleri, dan Pekalongan dapat
melewati jalur Candiroto kemudian ke arah Jalur Lingkar Jumprit, belok
ke kanan pada perempatan besar sejauh 8 km.
Jalur ketiga merupakan jalur alternatif bagi yang berada di Wonosobo,
melewati perkebunan teh Tambi kira-kira sejauh 10 km. Jika ingin
menginap dikawasan ini tersedia Wisma Perhutani atau juga mendirikan
tenda di bumi perkemahan. Wisatawan bisa menikmati udara segar dan
indahnya pemandangan saat matahari terbit, Airnya juga dingin, jernih
dan menyegarkan. Karena berada di Lereng Gunung Sindoro, hawa ditempat
ini pun cukup dingin. Sehingga bagi para wisatawan yang hendak bermalam
dianjurkan membawa Jaket penahan hawa dingin untuk Bertandang…”
Oleh : DP. Ganatri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar